Respon al-Qur’an terhadap praktik iddah pasca perceraian dan kematian di zaman Jahiliyyah
Kontekstual al-Qur`an sangatlah penting
dalam memahami alasan logis terhadap pewahyuan dan dapat memberikan perbedaan
suatu ajaran yang bersifat universal dari ajaran yang bersifat spesifik.
Seperti halnya mengenai kontekstual iddah. ‘Iddah
dalam segi bahasa berasal dari kata ‘adad yang berarti bilangan atau
hitungan. Sedangkan dalam kitab Fiqih Sunah menjelaskan pengertian di tinjau
dari segi istilah yaitu adanya suatu masa seorang wanita yang ditalaq dalam hal
menunggu dengan penceraian atau talaq raj’i untuk melakukan perkawinan dengan laki-laki
lain. Adapun tujuannya ‘iddah yaitu agar mengetahui keadaan rahim seorang
perempuan, melindungi kehormatan keluarga, dan menjaga dari perpecahan serta
pencampuran nasab. Disamping itu juga, ‘iddah menjadi suatu kesempatan
terhadap suami yang telah bercerai untuk kembali melakukan perkawinan lagi
setelah putusnya perkawinan dengan istri terdahulu.
Respon al-Qur’an terhadap praktik iddah pasca
perceraian dan kematian di zaman Jahiliyyah
Dalam Kitab al-Mufaṣṣal fῑ Tārῑkh al-‘Arab Qabla al-Islām dijelaskan
bahwa pada masa Jahiliyyah, ‘iddah orang yang ditalaq itu tidak dikenal,
sehingga wanita boleh menikah setelah ditalaq tanpa menunggu ‘iddah.
Seperti halnya yang diceritakan bahwasanya Sa’ad bin Zaid menikahi Nakimiyah
yang mana pada saat itu sedang mengandung anak dari suami pertamanya. Pada masa
itu juga, meski istri tau bahwa yang dikandung itu anak dari suami pertama dan
kemudian anak di dalam kandungan itu lahir bernama sha’sha’ah. maka suatu hak asuh akan ditanggung oleh suami
kedua meski tau itu anak suami pertama istri. Kemudan apabila suami kedua
meninggal, maka harta warisan akan jatuh kepada anak tersebut dan dilarang
memberi harta warisan kepada istri. Suatu tradisi tersebut menimbulkan suatu
pencampuran nasab. Jadi di masa Jahiliyyah, ‘iddahnya orang yang ditalaq
itu tidak dikenal sehingga wanita boleh menikah setelah ditalaq tanpa menunggu ‘iddah.
Selain itu, juga suatu riwayah menyatakan bahwa Rasulullah
menceraikan Khafsah, kemudian turunlah surah aṭ-Ṭalāq ayat 1
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا
الْعِدَّةَ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ ۖ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِن
بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ
مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ
اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ۚ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ
بَعْدَ ذَٰلِكَ أَمْرًا [٦٥:١]
Terjemah; Wahai Nabi, jika kamu hendak menjatuhkan talak kepada istri-istrimu maka jatuhkanlah talak itu ketika mereka sedang dalam keadaan suci yang tidak dicampuri. Tepatkanlah hitungan masa idah dan bertakwalah kepada Tuhanmu. Jangan izinkan istri-istri yang kamu jatuhi talak itu keluar dari tempat mereka ditalak. Jangan izinkan mereka keluar kecuali jika melakukan perbuatan keji yang sangat nyata. Ketentuan- ketentuan itu merupakan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah untuk para hamba-Nya. Barangsiapa yang melanggar ketentuan Allah maka sesungguhnya ia telah menzalimi diri sendiri. Kamu, hai orang yang melanggar, tidak mengetahui barangkali Allah akan mewujudkan sesuatu yang tidak diperkirakan, sesudah talak itu, sehingga kedua pasangan suami-istri itu kembali saling mencintai.
Ayat tersebut turun untuk memperingatkan Rasululah untuk merujuknya
kembali karena Khafsah merupakan orang yang ahli berpuasa dan mendirikan salat
malam. Peristiwa ini menjadi suatu penggambaran bahwa suatu idah yang dilakukan
khafsah merupakan masa dimana dua pihak
dapat mengintropeksi diri kemudian menentukan jalan yang akan diambil.
Sehingga ketika Islam datang, suatu idah diwajibkan dengan maslahat agar
mengetahui keadaan rahim seorang perempuan, melindungi kehormatan keluarga, dan
menjaga dari perpecahan serta pencampuran nasab.
Adapun ‘iddah ini memiliki beberapa masa antara lain
a.
Masa
tunggu seorang wanita (istri) yang tidak lagi mengalami mestruasi. Sehingga
masa ‘iddahnya yaitu selama tiga bulan. Hal ini berdasarkan firman Allah
dalam QS. Ath-Thalaq ayat 4.
“وَاللَّائِي
يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ
أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ ۚ ….
“[٦٥:٤]
b.
Masa
‘iddah bagi istri yang di talaq pada masa haid, maka waktu ‘iddah
selama mengalami haid tiga kali kemudian suci. Hal ini juga terdapat pada QS.
Al-Baqarah ayat 228.
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ
قُرُوءٍ …. [٢:٢٢٨]
c.
Masa
‘iddah istri yang dicerai dan berada dalam keadaan hamil, maka terkena
konsekuensi masa tunggu sampai ia melahirkan kandungannya. Berdasarkan QS.
At-Thalaq ayat 4.
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ
حَمْلَهُنَّ ۚ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل
لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا [٦٥:٤]
Kemudian ‘iddah bagi wanita yang dicerai dan ditinggal mati
oleh suaminya itu dibedakan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab fiqih.
Dalam penuturan Imam Syafi’I, pada zaman Jahiliyah wanita yang ditinggal mati
oleh suaminya ditempatkan di gubuk, diberi pakaian jelek, dilarang
berwangi-wangian, didatangkan binatang khimar, atau burung yang menempati
bersama selama satu tahun. Setelah 1 tahun waktu itu, untuk bisa kembali kepada
keluarganya, wanita juga dilemparkan kotoran binatang. Terdapat pendapat lain
yang mengatakan bahwa pada zaman jahiliyah melebih-lebihkan pihak laki-laki
atau suami dalam mengagungkan akad, yang mana mereka menempatkan wanita yang
ditalaq harus menahan diri selama setahun dengan memakai pakaian buruk didalam
rumah. Ketika Islam datang, Allah memberi peringanan untuk wanita yang
ditetapkan sebagai rahmat, hikmah dan maslahat. Sehingga yaitu ‘Iddahnya wanita yang ditinggal
mati oleh suaminya, maka akan berlaku selama empat bulan sepuluh hari. Sepeti
yang dicantumkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 234.
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖ فَإِذَا
بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ [٢:٢٣٤]
Komentar
Posting Komentar